Pages

Sunday, June 2, 2013

Amanat Cerpen 'Malaikat Juga Tahu'


dua kata.
Sudut pandang :        penulis tidak mencantumkan nama, yang dicantumkan hanyalah kata pengganti orang pertama dan ketiga dalam tiap karakternya.
             
Sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama. dalam sudut pandang teknik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa alami yang ada dalam kehidupannya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik. Si “aku” menjadi fokus pusat kesadaran dan pusat cerita.
Sudut pandang orang ketiga serbatahu. Cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang dapat menyangkutkan hal-hal apa saja yang terkait dalam tokoh “dia” tersebut. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.
Amanat          :           Sempurna atau tidaknya kehidupan kita, tergantung manusianya sendiri menilainya, tergantung bagaimana ia berdedikasi terhadap lingkungan sekitarnya dan juga dalam keluarga. Kita harus mempunyai rasa kepekaan terhadap hak asasi manusia dan keadilan. Setiap orang tidak ada yang sempurna, seorang penyandang autisme pun mempunyai nilai cinta yang tinggi, cinta yang takkan pernah rapuh yang jarang dimiliki manusia normal pada umumnya.
            Kasih sayang ibu tidak ada batasnya, ia tidak pernah memilah mana anaknya yang berdedikasi dan tidak, membanding-bandingkan adalah sesuatu yang sangat dihindari di dunia ini, apalagi melebih-lebihkannya, maka kita harus bertindak adil pada setiap manusia dan harus memiliki rasa kepekaan sendiri terhadap suatu rasa. Kuatnya cinta siapa yang tahu? Siapa yang merasakan? Perihal kehidupanlah yang menjadi jawabannya. maka nilailah kehidupan anda masing-masing, polakanlah secara baik, sayangilah keluarga anda dimana pun anda berada.

RESENSI CERPEN MALAIKAT JUGA TAHU 'DEE'



            “ Tapi.... Bunda bukan malaikat yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang sama saya. Tidak akan ada yang pernah tahu.” 
            Itulah salah satu petikan kalimat dalam cerpen berjudul Malaikat Juga Tahu dari buku kumpulan cerpen Rectoverso karya Dewi Lestari yang diterbitkan oleh Good Faith. Ibu dari dua orang anak ini lahir di Bandung pada tanggal 20 Januari 1976. Dewi Lestari yang memiliki nama pena Dee ini awalnya dikenal sebagai anggota triovokal Rida Sita Dewi. Kemudian setelah menerbitkan novel pertamanya di tahun 2001, Dee dikenal juga sebagai penulis. Dee sendiri dalam tiap cerita di novelnya yang berjudul Rectoverso ini tidak mencantumkan nama pada setiap karakter yang ia paparkan dalam setiap cerita, dee hanya menggunakan kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga.
            Cerpen yang bertemakan cinta dan kasih sayang ini mengajarkan manusia untuk belajar banyak dari peristiwa yang pahit dalam hidupnya, bukan dari yang manis-manis. Pada dasarnya cerpen ini mengandung unsur sosial, yakni terpancar pada karakter utamanya yaitu penyandang cacat mental (autis). Tergambar bahwa cinta tidak selalu dilukiskan oleh kata-kata manis, hatilah yang selalu menjadi penopang akan suatu rasa, entah sampai kapan perasaan itu terbalas. Faktor dari cerita ini dapat meningkatkan kepekaan para pembaca terhadap karya sastra, sehingga mereka tidak hanya menikmati bacaan saja akan tetapi mampu mencerna pemikiran-pemikiran dan maksud sesungguhnya yang disampaikan penulis sebagai bahan pembelajaran moral.
            Cerpen ini mengisahkan tentang kedekatan seorang penyandang autis yang dipanggil “Abang” dengan seorang gadis cantik yang kost dirumah ibunya yang biasa disebut bunda. Gadis tersebut dan abang sangatlah akrab, dalam kesehariannya gadis itu selalu bebas bercerita tentang masalah percintaannya yang banyak dan selalu gagal. Orang-orang disekeliling mereka sampai terheran-heran dengannya, Topik seperti apa yang ia bicarakan dengan penyandang autis seperti abang, gaya bicaranya saja tidak rasional dan cara ia menatap orang pun tidak bisa bertahan hingga lima detik. tetapi bagi gadis tersebut, abang mempunyai ciri khas tersendiri dalam merespon sesuatu dari lawan bicaranya. Rutinitas aneh yang dilakukan abang yaitu mencuci pakaian yang tiap harinya harus sesuai dengan warna yang ia tentukan, ia juga memiliki koleksi sabun dengan merek yang sama sebanyak 100 batang, tiap harinya ia selalu menghitung ke-100 sabunnya itu.
            “Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.”
            Bukannya tidak mungkin berkomunikasi wajar dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tingkat tinggi yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi bunda. Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tidak bisa mengobrolkan makna. Dia hafal tahun, hari, jam bahkan menit dari banyak peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama diatas piano, bahkan lebih sempurna. Namun dia tidak memahami mengapa orang-orang harus pergi bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.
            Alur yang terpancarkan dalam cerpen ini sangatlah rapi, dimana seorang anak penyandang autis mengalami kisah unik dikehidupannya, dimana ia merasakan senang saat jatuh cinta, sedih, dan juga sekali-kali memberontak jika tidak ada gadis yang ia cintai disisinya. Cerpen ini juga mengusuk arti dari seorang ibu, tergambarkan dari kalimat yang dikatakan seorang ibu bahwa “Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.”
            Melukiskan bahwa cinta seorang ibu ke abang yang memiliki banyak kekurangan itu tidak ada taranya dibanding apapun, entah dari si gadis itu atau pun oleh seorang adiknya yang telah sukses sekarang. Kalimat-kalimat bernilai tinggi ini menandakan bahwa cinta ibu tak kenal batas, walaupun ibu itu telah mengalami berbagai pahitnya kehidupan, anak pertamanya telah meninggal dan ditinggal suami, akan tetapi kasih sayang seorang ibu ini untuk anaknya sangatlah besar, untuk seorang anak penyandang autis yang sangat mencintai seorang gadis yang telah dimiliki oleh adiknya sendiri.
            Pengisahan kisah ini sangat absurd oleh keseharian si abang dan artikulasinya dengan sang bunda, dengan cara bagaimana bunda merawatnya, membuatnya tenang, dan menjadi bagian penting dalam kehidupannya. Kelemahan dari cerpen ini yaitu sang penulis tidak mencantumkan nama dalam tiap karakter disetiap paragrafnya, akan tetapi nilai kehidupan, nilai emansipasi, dan nilai moral yang ada sangatlah kuat dan erat kaitannya. Setiap pembaca seperti dihanyutkan dalam delegasi tiap paragraf dan kutipan-kutipannya yang mempunyai tingkatan emosi tinggi. Penggambaran pada setiap karakter juga tersimpulkan dengan rapi dan jelas.
            Jika dibandingkan dengan novel-novel dee sebelumnya, cerpen ini sangatlah konkrit dengan nilai bahasa yang lebih mudah dipahami oleh semua kalangan. Pembaca juga pastinya dapat terinspirasi oleh alur majunya yang elegan dengan kisah kehidupan di tiap paragrafnya.
            Cerpen ini juga memiliki lagu yang diciptakan oleh sang penulisnya dengan judul yang sama, isi lagunya pun sangat konkrit dengan cerita yang ada di dalam cerpen tersebut. Selain itu, cerpen karya sastra dewi lestari ini juga telah diangkat dalam satu paket film yang berjudul Rectoverso.
            Cerita ini tidak kontras dengan tema cinta yang absurd pada satu tujuan saja, akan tetapi menggambarkan perubahan-perubahan mental psikis karakternya. Bahwa kemananya cinta pergi, walaupun setiap insan di dunia ini merasakannya, cinta tidak selalu berakhir pada akhir yang sempurna, setiap orang juga memiliki perihal lain atas tujuan hidupnya sendiri.
            Pesan ideologis dari cerpen ini yaitu dapat meningkatkan kepekaan setiap orang terhadap hak asasi manusia dan keadilan. Dengan adanya cerpen karya dewi lestari ini, diharapkan muncul perubahan paradigma berfikir dan cara pandang pembaca mengenai penyandang cacat mental, namun kesamaan hak dan keadilanlah yang menjadi landasannya.

CERPEN MALAIKAT JUGA TAHU. 'DEE'

             Malaikat juga Tahu            

Laki-laki itu terbaring diatas rumput, menatap bintang yang bersembulan dari carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di pekarangan.            Perempuan itu hafal rutinitas ketat yang berlaku disana. Laki-laki disebelahnya memangkas rumput setiap hari selasa, kamis, dan sabtu. Mencuci baju putih setiap senin, baju berwarna gelap hari rabu, baju berwarna sedang hari jumat. Menjerang air panas setiap hari pukul enam pagi untuk semua penghuni rumah. Menghitung koleksi sabun mandinya yang bermerek sama dan berjumlah genap seratus, setiap pagi dan sore.            Banyak orang yang bertanya-tanya tentang persahabatan mereka berdua. Orang-orang penasaran tentang topik obrolan mereka dan apa kegiatan perempuan itu selama berjam-jam disana. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa ibu dari laki-laki itu, yang mereka sebut bunda,sangat pandai memasak. Rumah bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah rumah kos paling legendaris. Bahkan ada ikatan alumni tak resmi dengan anggota ratusan, dipersatukan oleh kegilaan mereka pada masakan bunda. Setiap lebaran, bunda memasak layaknya katering pernikahan. Terlalu banyak mulut yang harus diberi makan. Namun jika Cuma akses tak terbatas atas masakan bunda yang jadi alasan persahabatan mereka berdua. Orang-orang tidak percaya.             Laki-laki itu yang biasa mereka panggil Abang, adalah makhluk paling dihindari di rumah bunda, nomor dua setelah sesudah blasteran Doberman yang galaknya diluar akal tapi untungnya sekarang sudah ompong dan buta. Abang tidak galak, tidak menggigit, tapi orang orang-orang sering dibuat habis akal jika berdekatan dengannya. Setiap pagi dia membangunkan seisi rumah itu dengan ketukannya di pintu dan secerek air panas untuk mandi. Dia menjemput baju-baju kotor dan bisa ngadat kalau disetorkan warna yang tidak sesuai dengan jadwal mencucinya. Sekalipun sanggup, bunda tidak bisa memasang pemanas air bertenaga listrik atau sel surya. Anaknya harus menjerang air. Secerek air panas dan mencuci baju sewarna adalah masalah eksistensial bagi Abang. Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.             Bukannya tidak mungkin berkomunikasi wajar dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tingkat tinggi yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi bunda. Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tidak bisa mengobrolkan makna. Abang gemar mempreteli teve, radio, bahkan mobil, lalu merakitnya lagi lebih baik dari semula. Dia hafal tahun, hari, jam bahkan menit dari banyak peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama diatas piano, bahkan lebih sempurna. Namun dia tidak memahami mengapa orang-orang harus pergi bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.             Perempuan di pekarangan itu tahu sesuatu yang orang lain tidak. Abang adalah pendengar yang luar biasa. Perempuan itu bisa bebas bercerita masalah percintaannya yang berjubel dan selalu gagal. Tidak seperti kebanyakan orang, Abang tidak berusaha memberikan solusi. Abang menimpali keluh kesahnya dengan menyebutkan daftar album Genesis dan tahun berapa saja terjadi pergantian anggota. Gerutuannya pada kumpulan laki-laki brengsek yang telah menghancurkan hatinya dibalas dengan gumaman simfoni Beethoven dan tangan yang bergerak-gerak memegang ranting kayu bak seorang konduktor. Abang tidak bisa beradu mata lebih dari lima detik, tapi sedetikpun Abang tidak pernah pergi dari sisinya. Ia pun menyadari sesuatu yang orang lain tidak. Laki-laki disampingnya itu bisa jadi sahabat yang luar biasa.             Barangkali segalanya tetap sama jika bunda tidak menemukan surat-surat yang ditulis Abang. Untuk pertama kalinya, anak itu menuliskan sesuatu diluar grup musicart rock atau sejarah music klasik. Ia menuliskan surat cinta. Kumpulan kalimat tak tertata yang bercampur dengan menu makanan Dobi, blasteran Doberman yang tinggal tunggu ajal. Tapi ibunya tahu itu adalah surat cinta.            Barangkali segalanya tetap sama jika adik Abang, anak bungsu bunda tidak kembali dari merantau panjang diluar negeri. Sang adik kata orang-orang, adalah hadiah dari Tuhan untuk ketabahan Bunda yang cepat menjanda, disusul musibah yang menimpa anak pertamanya, seorang gadis yang bahkan tak sempat lulus SD, yang meninggal karena penyakit langka dan tak ada obatnya, lalu anak keduanya, Abang, mengidap autis pada saat dunia kedokteran masih awam soal autisme sehingga tak pernah tertangani dengan baik. Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut orang-orang adalah figur sempurna. Ia pintar, normal, dan fisiknya menarik. Ia hanya tak pernah dirumah karena sedari remaja meninggalkan Indonesia demi bersekolah.             Barangkali sang adik tetap menjadi figur yang sempurna jika saja ia tidak memacari perempuan satu-satunya yang dikirimi surat cinta oleh kakaknya. Bunda tahu, secerek air panas dan cucian berwarna seragam sudah resmi bergandengan dengan rutinitas lain, perempuan itu. Dan bagi Abang, rutinitas itu bukan sekedar hobi, melainkan eksistensi.             Pertama kali Bunda mengetahui si bungsu dan perempuan itu berpacaran. Bunda langsung mengadakan pertemuan empat mata. Ia memilih perempuan itu untuk diajak bicara pertama karena dipikirnya akan lebih mudah.             “Bagi kamu pasti ini terdengar aneh. Mereka dua-duanya anak Bunda. Tapi kalau ditanya, siapa yang bisa mencintai kamu paling tulus, Bunda akan menjagokan Abang.”             Perempuan itu terhenyak. Apa-apaan ini? Pikirnya gusar. Jangan pernah bermimpi dia akan memilih manusia satu itu untuk dijadikan pacar. Jelas tidak mungkin.             Bunda melanjutkan dengan suara tertahan, “Dia mencintai bukan Cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan basa-basi surat cinta, bukan Cuma rayuan gombal, tapi fakta. Adiknya bisa cinta sama kamu, tapi kalau kalian putus, dia dengan gampang cari lagi. Tapi Abang tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur hidupnya.”             “Tapi.. Bunda bukan malaikat yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang sama saya. Tidak akan pernah ada yang tahu.” Lanjut perempuan itu.             Saat itu Bunda berkaca-kaca. Begitu juga dengan matanya. Tak lama mereka menangis berdua. Namun ia tahu perbedaan dirinya dengan Bunda. Bagi perempuan itu. Cinta tanpa pilihan adalah penjara. Ia ingin cintanya dipilih dari sekian banyak pilihan. Bukan karena ia satu-satunya pilihan yang ada.             Masih sambil berbaring, dengan punggung tangannya perempuan itu mengusap-usap rumput. Lengannya bergerak lambat dan gemulai seolah nenarikan tarian perpisahan. Ini akan menjadi malam minggu terakhirnya dipekarangan serapi lapangan golf. Semalam mereka bicara bertiga. Dia, Bunda, dan si bungsu. “Dia tidak bodoh.”“Bunda, saya tahu dia tidak bodoh.”“Dia akan segera tahu kalian akan berpacaran.”“Mami, lebih baik dia tahu sekarang daripada nanti setelah kami menikah.”Bunda menggelengkan kepala dengan tatapan tak percaya, “Bagi Abangmu, apa bedanya sekarang dan nanti?”“Kami tidak mungkin sembunyi-sembunyi seumur hidup!” Anak laki-lakinya setengah berseru.“Kalau perlu kalian harus sembunyi-sembunyi seumur hidup!” balas Bunda lebih tegas“Ini tidak adil, ini tidak masuk akal...” protes anaknya lagi.“Jangan bicara soal adil dan masuk akal. Aturan kamu, aturan kita. Tidak berlaku bagi dia....” desis Bunda. “Kamu tidak tinggal dirumah ini. Kamu tidak mengenalnya seperti Mami.             Satu hari, pernah ada anak kos yang jahil. Dia menyembunyikan satu dari seratus sabun koleksi Abang. Bunda sedang pergi ke pasar waktu. Abang mengacak-acak satu rumah, lalu pergi minggat demi mencari sebatang sabunnya yang hilang. Tiga mobil polisi menelusuri kota mencari jejaknya. Baru sore hari ia ditemukan disebuah warung. Ada sabun yang persis sama dipajang di etalase dan Abang langsung menyerbu masuk untuk mengambil. Penjaga warung menelepon polisi karena tidak berani mengusir sendiri.             Kejadian itu mengharuskan Abang diterapi selama beberapa bulan di rumah sakit dan diberi obat-obat penenang, Bunda tahu betapa anaknya membenci rumah sakit, dan obat-obatan itu hanya membuat otaknya rapuh. Tak ada yang memahami bahwa seratus sabun adalah syarat bagi anaknya untuk beroleh hidup yang wajar.             “Kamu harus kemari setiap malam minggu. Tidak bisa tidak,” kata Bunda pada perempuan itu. “Dan selama kalian dirumah ini, kalian tidak boleh keliatan seperti kekasih. Buat kalian mungkin tidak masuk akal. Tapi hanya dengan begitu Abangmu bisa bertahan.”            Selepas berbicara dengan Bunda, mereka berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu disana. Mereka menolak menjadi bagian dari ritual menjerang air, cuci baju, dan seratus sabun.            Di pekarangan dengan tinggi rumput seragam, perempuan itu mengucapkan selamat tinggal di dalam hati. Persahabatan yang luar biasa ternyata mensyaratkan pengorbanan diluar kesanggupannya. Perempuan itu mengucap maaf berulang kali dalam hati.            Sejenak lagi, malam minggu terakhir mereka usai. Bunda menangisi setiap malam minggu. Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia menangis cukup dalam hati.            Semua anak kos kini menyingkir jika malam minggu tiba. Mereka tidak tahan mendengar suara lolongan, barang-barang yang diberantaki, dan seorang yang hilir mudik gelisah mengucap satu nama seperti mantra. Menanyakan keberadaannya.            Kalau beruntung, Abang akhirnya kelelahan sendiri lalu tertidur dipangkuan ibunya. Kalau tidak, sang ibu terpaksa menutup hari anaknya dengan obat penenang.            Pada setiap penghujung malam minggu, Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar peluh membasahi wajah, anaknya yang berbadan dua kali lebih besar tertidur memeluk kakinya erat-erat. Selain dengkuran dan napas anaknya yang memburu, tidak ada suara lain di rumah besar itu. Semua pergi. Dobi telah mati.            Bunda tak bisa dan tak perlu mengutuk siapa-siapa. Mereka tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia.            Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.Tak perlu ada kompetisi disini. 



Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.