“
Tapi.... Bunda bukan malaikat yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa
bilang siapa yang lebih sayang sama saya. Tidak akan ada yang pernah
tahu.”
Itulah
salah satu petikan kalimat dalam cerpen berjudul Malaikat Juga Tahu dari
buku kumpulan cerpen Rectoverso karya Dewi Lestari yang diterbitkan oleh Good
Faith. Ibu dari dua orang anak ini lahir di Bandung pada tanggal 20 Januari
1976. Dewi Lestari yang memiliki nama pena Dee ini awalnya dikenal sebagai
anggota triovokal Rida Sita Dewi. Kemudian setelah menerbitkan novel pertamanya
di tahun 2001, Dee dikenal juga sebagai penulis. Dee sendiri dalam tiap cerita di
novelnya yang berjudul Rectoverso ini tidak mencantumkan nama pada setiap
karakter yang ia paparkan dalam setiap cerita, dee hanya menggunakan kata ganti
orang pertama, kedua, dan ketiga.
Cerpen
yang bertemakan cinta dan kasih sayang ini mengajarkan manusia untuk belajar
banyak dari peristiwa yang pahit dalam hidupnya, bukan dari yang manis-manis.
Pada dasarnya cerpen ini mengandung unsur sosial, yakni terpancar pada karakter
utamanya yaitu penyandang cacat mental (autis). Tergambar bahwa cinta tidak
selalu dilukiskan oleh kata-kata manis, hatilah yang selalu menjadi penopang
akan suatu rasa, entah sampai kapan perasaan itu terbalas. Faktor dari cerita
ini dapat meningkatkan kepekaan para pembaca terhadap karya sastra, sehingga
mereka tidak hanya menikmati bacaan saja akan tetapi mampu mencerna pemikiran-pemikiran
dan maksud sesungguhnya yang disampaikan penulis sebagai bahan pembelajaran
moral.
Cerpen
ini mengisahkan tentang kedekatan seorang penyandang autis yang dipanggil
“Abang” dengan seorang gadis cantik yang kost dirumah ibunya yang biasa disebut
bunda. Gadis tersebut dan abang sangatlah akrab, dalam kesehariannya gadis itu
selalu bebas bercerita tentang masalah percintaannya yang banyak dan selalu
gagal. Orang-orang disekeliling mereka sampai terheran-heran dengannya, Topik
seperti apa yang ia bicarakan dengan penyandang autis seperti abang, gaya
bicaranya saja tidak rasional dan cara ia menatap orang pun tidak bisa bertahan
hingga lima detik. tetapi bagi gadis tersebut, abang mempunyai ciri khas
tersendiri dalam merespon sesuatu dari lawan bicaranya. Rutinitas aneh yang
dilakukan abang yaitu mencuci pakaian yang tiap harinya harus sesuai dengan
warna yang ia tentukan, ia juga memiliki koleksi sabun dengan merek yang sama
sebanyak 100 batang, tiap harinya ia selalu menghitung ke-100 sabunnya itu.
“Mengubah rutinitas itu sama saja dengan
menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.”
Bukannya
tidak mungkin berkomunikasi wajar dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tingkat
tinggi yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun
itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang
didatangi bunda. Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tidak
bisa mengobrolkan makna. Dia hafal tahun, hari, jam bahkan menit dari banyak
peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama diatas piano, bahkan
lebih sempurna. Namun dia tidak memahami mengapa orang-orang harus pergi
bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.
Alur
yang terpancarkan dalam cerpen ini sangatlah rapi, dimana seorang anak
penyandang autis mengalami kisah unik dikehidupannya, dimana ia merasakan
senang saat jatuh cinta, sedih, dan juga sekali-kali memberontak jika tidak ada
gadis yang ia cintai disisinya. Cerpen ini juga mengusuk arti dari seorang ibu,
tergambarkan dari kalimat yang dikatakan seorang ibu bahwa “Perempuan muda itu
benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk
berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata,
keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi
tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak
punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.”
Melukiskan
bahwa cinta seorang ibu ke abang yang memiliki banyak kekurangan itu tidak ada
taranya dibanding apapun, entah dari si gadis itu atau pun oleh seorang adiknya
yang telah sukses sekarang. Kalimat-kalimat bernilai tinggi ini menandakan
bahwa cinta ibu tak kenal batas, walaupun ibu itu telah mengalami berbagai
pahitnya kehidupan, anak pertamanya telah meninggal dan ditinggal suami, akan
tetapi kasih sayang seorang ibu ini untuk anaknya sangatlah besar, untuk
seorang anak penyandang autis yang sangat mencintai seorang gadis yang telah
dimiliki oleh adiknya sendiri.
Pengisahan
kisah ini sangat absurd oleh keseharian si abang dan artikulasinya dengan sang
bunda, dengan cara bagaimana bunda merawatnya, membuatnya tenang, dan menjadi
bagian penting dalam kehidupannya. Kelemahan dari cerpen ini yaitu sang penulis
tidak mencantumkan nama dalam tiap karakter disetiap paragrafnya, akan tetapi nilai
kehidupan, nilai emansipasi, dan nilai moral yang ada sangatlah kuat dan erat
kaitannya. Setiap pembaca seperti dihanyutkan dalam delegasi tiap paragraf dan
kutipan-kutipannya yang mempunyai tingkatan emosi tinggi. Penggambaran pada
setiap karakter juga tersimpulkan dengan rapi dan jelas.
Jika dibandingkan
dengan novel-novel dee sebelumnya, cerpen ini sangatlah konkrit dengan nilai
bahasa yang lebih mudah dipahami oleh semua kalangan. Pembaca juga pastinya
dapat terinspirasi oleh alur majunya yang elegan dengan kisah kehidupan di tiap
paragrafnya.
Cerpen ini juga memiliki
lagu yang diciptakan oleh sang penulisnya dengan judul yang sama, isi lagunya
pun sangat konkrit dengan cerita yang ada di dalam cerpen tersebut. Selain itu,
cerpen karya sastra dewi lestari ini juga telah diangkat dalam satu paket film
yang berjudul Rectoverso.
Cerita ini tidak kontras
dengan tema cinta yang absurd pada satu tujuan saja, akan tetapi menggambarkan
perubahan-perubahan mental psikis karakternya. Bahwa kemananya cinta pergi,
walaupun setiap insan di dunia ini merasakannya, cinta tidak selalu berakhir
pada akhir yang sempurna, setiap orang juga memiliki perihal lain atas tujuan
hidupnya sendiri.
Pesan
ideologis dari cerpen ini yaitu dapat meningkatkan kepekaan setiap orang
terhadap hak asasi manusia dan keadilan. Dengan adanya cerpen karya dewi
lestari ini, diharapkan muncul perubahan paradigma berfikir dan cara pandang
pembaca mengenai penyandang cacat mental, namun kesamaan hak dan keadilanlah
yang menjadi landasannya.