Pages

Sunday, June 2, 2013

RESENSI CERPEN MALAIKAT JUGA TAHU 'DEE'



            “ Tapi.... Bunda bukan malaikat yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang sama saya. Tidak akan ada yang pernah tahu.” 
            Itulah salah satu petikan kalimat dalam cerpen berjudul Malaikat Juga Tahu dari buku kumpulan cerpen Rectoverso karya Dewi Lestari yang diterbitkan oleh Good Faith. Ibu dari dua orang anak ini lahir di Bandung pada tanggal 20 Januari 1976. Dewi Lestari yang memiliki nama pena Dee ini awalnya dikenal sebagai anggota triovokal Rida Sita Dewi. Kemudian setelah menerbitkan novel pertamanya di tahun 2001, Dee dikenal juga sebagai penulis. Dee sendiri dalam tiap cerita di novelnya yang berjudul Rectoverso ini tidak mencantumkan nama pada setiap karakter yang ia paparkan dalam setiap cerita, dee hanya menggunakan kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga.
            Cerpen yang bertemakan cinta dan kasih sayang ini mengajarkan manusia untuk belajar banyak dari peristiwa yang pahit dalam hidupnya, bukan dari yang manis-manis. Pada dasarnya cerpen ini mengandung unsur sosial, yakni terpancar pada karakter utamanya yaitu penyandang cacat mental (autis). Tergambar bahwa cinta tidak selalu dilukiskan oleh kata-kata manis, hatilah yang selalu menjadi penopang akan suatu rasa, entah sampai kapan perasaan itu terbalas. Faktor dari cerita ini dapat meningkatkan kepekaan para pembaca terhadap karya sastra, sehingga mereka tidak hanya menikmati bacaan saja akan tetapi mampu mencerna pemikiran-pemikiran dan maksud sesungguhnya yang disampaikan penulis sebagai bahan pembelajaran moral.
            Cerpen ini mengisahkan tentang kedekatan seorang penyandang autis yang dipanggil “Abang” dengan seorang gadis cantik yang kost dirumah ibunya yang biasa disebut bunda. Gadis tersebut dan abang sangatlah akrab, dalam kesehariannya gadis itu selalu bebas bercerita tentang masalah percintaannya yang banyak dan selalu gagal. Orang-orang disekeliling mereka sampai terheran-heran dengannya, Topik seperti apa yang ia bicarakan dengan penyandang autis seperti abang, gaya bicaranya saja tidak rasional dan cara ia menatap orang pun tidak bisa bertahan hingga lima detik. tetapi bagi gadis tersebut, abang mempunyai ciri khas tersendiri dalam merespon sesuatu dari lawan bicaranya. Rutinitas aneh yang dilakukan abang yaitu mencuci pakaian yang tiap harinya harus sesuai dengan warna yang ia tentukan, ia juga memiliki koleksi sabun dengan merek yang sama sebanyak 100 batang, tiap harinya ia selalu menghitung ke-100 sabunnya itu.
            “Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.”
            Bukannya tidak mungkin berkomunikasi wajar dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tingkat tinggi yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi bunda. Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tidak bisa mengobrolkan makna. Dia hafal tahun, hari, jam bahkan menit dari banyak peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama diatas piano, bahkan lebih sempurna. Namun dia tidak memahami mengapa orang-orang harus pergi bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.
            Alur yang terpancarkan dalam cerpen ini sangatlah rapi, dimana seorang anak penyandang autis mengalami kisah unik dikehidupannya, dimana ia merasakan senang saat jatuh cinta, sedih, dan juga sekali-kali memberontak jika tidak ada gadis yang ia cintai disisinya. Cerpen ini juga mengusuk arti dari seorang ibu, tergambarkan dari kalimat yang dikatakan seorang ibu bahwa “Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.”
            Melukiskan bahwa cinta seorang ibu ke abang yang memiliki banyak kekurangan itu tidak ada taranya dibanding apapun, entah dari si gadis itu atau pun oleh seorang adiknya yang telah sukses sekarang. Kalimat-kalimat bernilai tinggi ini menandakan bahwa cinta ibu tak kenal batas, walaupun ibu itu telah mengalami berbagai pahitnya kehidupan, anak pertamanya telah meninggal dan ditinggal suami, akan tetapi kasih sayang seorang ibu ini untuk anaknya sangatlah besar, untuk seorang anak penyandang autis yang sangat mencintai seorang gadis yang telah dimiliki oleh adiknya sendiri.
            Pengisahan kisah ini sangat absurd oleh keseharian si abang dan artikulasinya dengan sang bunda, dengan cara bagaimana bunda merawatnya, membuatnya tenang, dan menjadi bagian penting dalam kehidupannya. Kelemahan dari cerpen ini yaitu sang penulis tidak mencantumkan nama dalam tiap karakter disetiap paragrafnya, akan tetapi nilai kehidupan, nilai emansipasi, dan nilai moral yang ada sangatlah kuat dan erat kaitannya. Setiap pembaca seperti dihanyutkan dalam delegasi tiap paragraf dan kutipan-kutipannya yang mempunyai tingkatan emosi tinggi. Penggambaran pada setiap karakter juga tersimpulkan dengan rapi dan jelas.
            Jika dibandingkan dengan novel-novel dee sebelumnya, cerpen ini sangatlah konkrit dengan nilai bahasa yang lebih mudah dipahami oleh semua kalangan. Pembaca juga pastinya dapat terinspirasi oleh alur majunya yang elegan dengan kisah kehidupan di tiap paragrafnya.
            Cerpen ini juga memiliki lagu yang diciptakan oleh sang penulisnya dengan judul yang sama, isi lagunya pun sangat konkrit dengan cerita yang ada di dalam cerpen tersebut. Selain itu, cerpen karya sastra dewi lestari ini juga telah diangkat dalam satu paket film yang berjudul Rectoverso.
            Cerita ini tidak kontras dengan tema cinta yang absurd pada satu tujuan saja, akan tetapi menggambarkan perubahan-perubahan mental psikis karakternya. Bahwa kemananya cinta pergi, walaupun setiap insan di dunia ini merasakannya, cinta tidak selalu berakhir pada akhir yang sempurna, setiap orang juga memiliki perihal lain atas tujuan hidupnya sendiri.
            Pesan ideologis dari cerpen ini yaitu dapat meningkatkan kepekaan setiap orang terhadap hak asasi manusia dan keadilan. Dengan adanya cerpen karya dewi lestari ini, diharapkan muncul perubahan paradigma berfikir dan cara pandang pembaca mengenai penyandang cacat mental, namun kesamaan hak dan keadilanlah yang menjadi landasannya.

No comments:

Post a Comment