Hak Asasi Manusia (HAM) sering disebut sebagai human right, dan dipahami banyak orang secara keliru.
HAM hanya diartikan secara sempit sebagai kebebasan. Padahal, HAM lebih luas
daripada kebebasan atau bisa dibilang kebebasan
itu hanya sebagian dari HAM. Secara teoritik HAM lebih mudah dipahami daripada
dilakukan dalam perilaku. HAM dapat diartikan sebagai hak dasar yang dibawa
manusia sejak dalam kandungan, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak
dapat diganggu gugat atau dicabut oleh siapapun juga dan tanpa hak dasar itu
manusia akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai manusia.
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999,
dijelaskan pengertian hak asasi manusia (HAM) seperti dalam pasal 1 ayat (1),
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hak Asasi Manusia (HAM) dimiliki
oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat
atau pemberian negara. Maka HAM tidak tergantung dari pengakuan manusia lain,
masyarakat lain, atau Negara lain. HAM diperoleh manusia dari Penciptanya,
yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diganggu gugat.Di
Indonesia, HAM bersumber dan bermuara pada Pancasila.
Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan Hak Asasi Manusia bukan berarti
melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila. HAM juga diatur oleh peraturan Perundangan-undangan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia,
antara lain Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Economis Social and Cultural Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenan Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) serta telah
diratifikasinya berbagai instrumen HAM internasional lain.
Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (2005: 5), anak jalanan adalah anak yang mengabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat umum lainnya. Anak jalanan memiliki ciri-ciri yaitu berusia 5 hingga 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.
Bedasarkan hasil kajian di lapangan oleh Subakti dkk. (1997:59) yang dikutip oleh Dwi Astuti, anak jalanan dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu:
Sudah
banyak kota-kota di Indonesia yang mencanangkan wajib belajar 12 tahun. Sekolah
gratis, seharusnya mereka mendapatkan fasilitas yang sama di sekolah. Tetapi kembali lagi ke anak jalanan
itu sendiri dan orang tuanya, banyak orang tua mereka yang tidak menginginkan
anaknya untuk melanjutkan sekolah dikarenakan tidak mampu membeli peralatan
sekolah padahal buku yang dipakai adalah gratis karena mendapat pinjaman dari
perpustakaan sekolah. Sungguh miris dengan hal ini. Bagaimana Indonesia mau
maju jika fungsioner mudanya sendiri tidak berjuang untuk kelayakan mereka
menuntut ilmu. Banyak program beasiswa yang dicanangkan oleh institusi, maupun
pemerintah pusat atau daerah, dan program bidik misi yang bisa dimanfaatkan. Saya
harap kesejahteraan masyarakan akan pendidikan mulai diperhatikan lagi oleh
seluruh warga Indonesia, bukan hanya pemerintah. Karena kalau bukan kitanya
sendiri yang mendorong lingkungan untuk menjadi lebih baik, kenapa tidak?
No comments:
Post a Comment