Pages

Sunday, June 29, 2014

Siluet Hitam



                 
                Gaun coklat ini baru ku beli tadi malam, dengan blazer peach pucat pasi yang aku sendiri agak gak nyaman dengan penampilanku sekarang, ditambah high heels yang aku pinjam dari sahabatku sendiri, make up pun seadanya, aku gak tau caranya make up, aku gak tau warna yang cocok seperti apa, entahlah.
                Dari kejauhan aku melihat seseorang dengan setelan hitam berjas rapi, dengan kilauan binar cahaya remang, warna putih kebiruan. Malam yang indah, terpampang wajah bersahaja dari pelupuk matanya, dagunya yang runcing, dengan warna kulit sawo matang, semampai dengan badannya yang semakin kurus, dia tetap menarik. “stary night” begitulah tulisan yang terpampang didepan hotel dimana acara prom night sekolah itu berlangsung.
aku jadi teringat. . .
                bagaimana cara dia memanggil namaku, dengan nada khas bicaranya yang lembut, dengan gaya sipuan malunya, cara ia memandang, begitu terarah saat ia memerhatikan lawan bicaranya, aku semakin yakin bahwa kita bisa bersama di suatu saat, mimpiku pasti akan tewujud, aku suka gaya bicaranya walaupun aku tak pernah bicara sebatas tiga menit bersamanya.  Aku suka cara ia menanggapi semua sahabatnya, seolah tawanya selalu teriring rapi disana, diwajahnya selalu tampak kebahagiaan walaupun tak semua orang tahu ia memiliki sesuatu yang tersembunyi dihatinya, aku yakin bahwa akulah orangnya.
                Iringan piano pun berdenting dengan lembut dibawah jari seorang pianist, sahabatku sendiri. Dengan rambut hitamnya yang panjang, gaun hitam elegan dan dengan wajahnya yang cantik. Seirama dengan tema prom night kali ini, harmonisasi yang indah.
                Kamu gak pernah tahu caranya berlari yang baik, kamu terlalu banyak menyimpan rahasia. Kamu gak pernah tahu bagaimana menyimpan sesuatu yang sudah membeku lama. Kamu gak pernah tahu bagaimana air terus mengalir jika semakin deras guyuran hujan diatasnya, jika semakin kelam awan yang bergerak. Kamu gak pernah tahu iringan merdu gitar diseberang sana. Kamu terlalu tersembunyi, dari sekian banyaknya orang mengapa harus aku yang tahu, mengapa aku yang harus mengerti. Mungkin hanya aku yang sadar seberapa pantas kamu untuk merasakan cinta. Aku bukan peramal, aku bukan malaikat yang tahu segalanya. Tapi aku punya firasat, aku bisa membaca apapun dari ujung matamu yang tajam, aku bisa melihatmu walaupun hanya sekilas, dari kejauhan. Bayangan itu, dalam jas hitam disana, kemarilah.
                Gemuruh tepukan tangan membangunkanku dari lamunan tadi, iringan piano pun sekejab berhenti, tak tahu waktuku membayangkannya dari kejauhan tadi. Senyum, tawa, sangat bahagia terpancar indah dari wajahnya kini.
Perlahan sahabatku menghampiriku, terlihat kerutan alisnya yang penuh keheranan…

“dari tadi kamu lihat apaan sih? Serius banget”
“eh cooooy lo best rangernya piano deh beneran sumpaaah! Setdah tadi aku kaget, gemuruh banget tepukan tangan buat lo coyyy! Hebat gilaaa haha. ”
“haaah percuma ngomong sama penulis, muka kaya tulisan, nanya abc dijawab huruf hijaiyyah macam lo gini nih, orang penuh rahasia udah kaya amoeba kalo bisa membelah diri ya tebelah sudah lo itu pikiran macam kecebong yang sedang mencari-cari air, tuh badan juga makin kurus macam ultramen yang sedang menyerang Godzilla di hirosima! ”
“seeetdah haha yu no mi so well banget sih sinih siniih siniiiih aaaaa ILY ILY ILY! {}”
“idih apaansih gausah meluk-meluk segala lebay dasar ultramen diserang Godzilla!”
“haha lo tuh macam sinchan yang …….. apaan ya @#@$##@% -,,- ”
“haha udahdeh gausah ngelucu, lo tuh seriusan, ga cocok ngelucu haha ultramennn, yaudah ceritain gih tadi lo ngelamunin apaan?”
“bentar, mau minum jus jeruk dulu nih mau ngesastra haha”
“sastra lagi? Baku lagi? Oke, lo orang seriusan emang, aku tau oke sekarang aku masuk dalam dunia lo yang aku aja ga pernah ngerti, okeh lah sokk lah sok”
“jadi begini, aku melihat bayangan, siluet. ”
 “siluet? Kamu jangan bermimpi”
“aku memang selalu bermimpi tanpa kamu melarangnya”
“kamu bicara apa?”
“apa kamu pernah merasakan, saat kamu menginginkan seseorang tapi kamu hanya bisa meraihnya sebatas kemampuanmu, mungkin dari tingginya monas kamu hanya bisa keatasnya dua meter saja, sangat jauh dari puncak emasnya dan kamu tak bisa apa-apa, kamu seperti gak ada, kamu sekarang lenyap”
“kamu terlalu konkrit dengan pemikiranmu, apa kamu mau hidupmu terus-terusan seperti ini? Kamu hanya melihat bayangan”
“aku bukannya terlalu konkrit, aku bukan hanya melihat bayangan. Aku membaca dan merasakan, aku bisa baca pikirannya, aku yakin”
“kamu tahu? Semakin gila aku mendengar penjelasanmu yang gak masuk akal, heeey kapan kamu sadarnya, aku gak ngerti apa yang kamu maksud dari semua cerita yang kamu agung-agungkan itu. Kamu gila.”
“mungkin memang benar, dari segelintir orang hanya aku yang tahu, hanya aku yang bisa merasakan. Apa ini terlalu tinggi? Hanya saja.. aku bukan apa-apa dibanding teman-temannya, aku juga bukan apa-apa dibandingkan kamu yang bisa segalanya, semua orang gak perlu tahu, cukup aku.”
“kamu gak tahu kan ke mana arah mata angin melintang saat timur beranjak jadi barat, dan barat berubah di timur?”
“itu kiamat. aku memang gak tahu karena aku bukan angin yang bebas berhembus kemanapun ia mau, ibarat kompas mungkin akulah jarumnya, saat kompas memutar balikkan arahnya, aku yang seharusnya mengarahkan kemana arah yang sebenarnya, tapi aku semu, aku hilang, aku diam di tempat, mungkin jarum itu bisa patah, mungkin jarum itu tak ada gunanya dibanding keempat arah mata angin kini. Aku tersendat dalam keheningan, aku terpukul akan diam. Dan dari ke empat arah mata angin, mungkin aku sudah ditertawakannya. Aku mengerti apa yang kamu maksud.”
“sekarang? Kamu tahu kan kamu harus apa?”
“mungkin bukan sekarang, entahlah sampai barat berubah jadi timur aku akan tetap seperti ini, aku yakin.. suatu saat hal ini akan berubah seiring jalannya waktu, tak perlu khawatir, aku kuat. Aku akan merubah jarum itu agar runcingannya tak patah, aku yakin. Dan siluet itu . . . pasti tak akan pernah berhenti di tempat, siluet itu seperti angin, ia akan pergi ke mana ia mau, tapi aku akan tetap menjadi jarum yang selalu mengarahkannya.”
                Dari banyaknya kisah yang aku tuliskan dibukuku dan dari yang kesekian lembarnya, aku berhenti untuk menuliskan fairytale itu, aku sadar, diaryku ga akan bisa bicara, ia gak sanggup menuai kata-kata yang bisa aku lunakkan, dia gak secerdas Einstein, dia gak sesempurna ratu Diana, dia juga bukan ibu yang mengerti bagaimana perasaanku, seolah aku berfikir bahwa aku harus mencoba keluar dari garis ini, aku masih bisa bermimpi, dari sebanyak mimpi yang aku tuliskan di bukuku, kamulah satu-satunya alasan mengapa aku tetap seperti ini, tenang… aku gak pernah berubah.

Dear diary.
balikpapan, 6/6/2013

….……… dan untuk bersamaku, kamu tak perlu bermimpi.

No comments:

Post a Comment