Gaun coklat ini baru ku beli tadi
malam, dengan blazer peach pucat pasi yang aku sendiri agak gak nyaman dengan
penampilanku sekarang, ditambah high heels yang aku pinjam dari sahabatku
sendiri, make up pun seadanya, aku gak tau caranya make up, aku gak tau warna
yang cocok seperti apa, entahlah.
Dari kejauhan aku melihat
seseorang dengan setelan hitam berjas rapi, dengan kilauan binar cahaya remang,
warna putih kebiruan. Malam yang indah, terpampang wajah bersahaja dari pelupuk
matanya, dagunya yang runcing, dengan warna kulit sawo matang, semampai dengan badannya
yang semakin kurus, dia tetap menarik. “stary night” begitulah tulisan yang
terpampang didepan hotel dimana acara prom night sekolah itu berlangsung.
aku jadi teringat. . .
bagaimana cara dia memanggil
namaku, dengan nada khas bicaranya yang lembut, dengan gaya sipuan malunya,
cara ia memandang, begitu terarah saat ia memerhatikan lawan bicaranya, aku
semakin yakin bahwa kita bisa bersama di suatu saat, mimpiku pasti akan
tewujud, aku suka gaya bicaranya walaupun aku tak pernah bicara sebatas tiga
menit bersamanya. Aku suka cara ia
menanggapi semua sahabatnya, seolah tawanya selalu teriring rapi disana, diwajahnya
selalu tampak kebahagiaan walaupun tak semua orang tahu ia memiliki sesuatu
yang tersembunyi dihatinya, aku yakin bahwa akulah orangnya.
…
Iringan
piano pun berdenting dengan lembut dibawah jari seorang pianist, sahabatku
sendiri. Dengan rambut hitamnya yang panjang, gaun hitam elegan dan dengan
wajahnya yang cantik. Seirama dengan tema prom night kali ini, harmonisasi yang
indah.
…
Kamu
gak pernah tahu caranya berlari yang baik, kamu terlalu banyak menyimpan
rahasia. Kamu gak pernah tahu bagaimana menyimpan sesuatu yang sudah membeku
lama. Kamu gak pernah tahu bagaimana air terus mengalir jika semakin deras
guyuran hujan diatasnya, jika semakin kelam awan yang bergerak. Kamu gak pernah
tahu iringan merdu gitar diseberang sana. Kamu terlalu tersembunyi, dari sekian
banyaknya orang mengapa harus aku yang tahu, mengapa aku yang harus mengerti. Mungkin
hanya aku yang sadar seberapa pantas kamu untuk merasakan cinta. Aku bukan
peramal, aku bukan malaikat yang tahu segalanya. Tapi aku punya firasat, aku
bisa membaca apapun dari ujung matamu yang tajam, aku bisa melihatmu walaupun
hanya sekilas, dari kejauhan. Bayangan itu, dalam jas hitam disana, kemarilah.
Gemuruh
tepukan tangan membangunkanku dari lamunan tadi, iringan piano pun sekejab
berhenti, tak tahu waktuku membayangkannya dari kejauhan tadi. Senyum, tawa,
sangat bahagia terpancar indah dari wajahnya kini.
Perlahan sahabatku menghampiriku, terlihat kerutan
alisnya yang penuh keheranan…
“dari tadi kamu lihat apaan sih? Serius
banget”
“eh cooooy lo best rangernya piano deh
beneran sumpaaah! Setdah tadi aku kaget, gemuruh banget tepukan tangan buat lo
coyyy! Hebat gilaaa haha. ”
“haaah percuma ngomong sama penulis, muka
kaya tulisan, nanya abc dijawab huruf hijaiyyah macam lo gini nih, orang penuh
rahasia udah kaya amoeba kalo bisa membelah diri ya tebelah sudah lo itu
pikiran macam kecebong yang sedang mencari-cari air, tuh badan juga makin kurus
macam ultramen yang sedang menyerang Godzilla di hirosima! ”
“seeetdah haha yu no mi so well banget sih
sinih siniih siniiiih aaaaa ILY ILY ILY! {}”
“idih apaansih gausah meluk-meluk segala
lebay dasar ultramen diserang Godzilla!”
“haha lo tuh macam sinchan yang …….. apaan
ya @#@$##@% -,,- ”
“haha udahdeh gausah ngelucu, lo tuh
seriusan, ga cocok ngelucu haha ultramennn, yaudah ceritain gih tadi lo ngelamunin
apaan?”
“bentar, mau minum jus jeruk dulu nih mau
ngesastra haha”
“sastra lagi? Baku lagi? Oke, lo orang
seriusan emang, aku tau oke sekarang aku masuk dalam dunia lo yang aku aja ga
pernah ngerti, okeh lah sokk lah sok”
“jadi begini, aku melihat bayangan, siluet.
”
“siluet?
Kamu jangan bermimpi”
“aku memang selalu bermimpi tanpa kamu
melarangnya”
“kamu bicara apa?”
“apa kamu pernah merasakan, saat kamu
menginginkan seseorang tapi kamu hanya bisa meraihnya sebatas kemampuanmu,
mungkin dari tingginya monas kamu hanya bisa keatasnya dua meter saja, sangat
jauh dari puncak emasnya dan kamu tak bisa apa-apa, kamu seperti gak ada, kamu
sekarang lenyap”
“kamu terlalu konkrit dengan pemikiranmu,
apa kamu mau hidupmu terus-terusan seperti ini? Kamu hanya melihat bayangan”
“aku bukannya terlalu konkrit, aku bukan
hanya melihat bayangan. Aku membaca dan merasakan, aku bisa baca pikirannya,
aku yakin”
“kamu tahu? Semakin gila aku mendengar
penjelasanmu yang gak masuk akal, heeey kapan kamu sadarnya, aku gak ngerti apa
yang kamu maksud dari semua cerita yang kamu agung-agungkan itu. Kamu gila.”
“mungkin memang benar, dari segelintir
orang hanya aku yang tahu, hanya aku yang bisa merasakan. Apa ini terlalu
tinggi? Hanya saja.. aku bukan apa-apa dibanding teman-temannya, aku juga bukan
apa-apa dibandingkan kamu yang bisa segalanya, semua orang gak perlu tahu,
cukup aku.”
“kamu gak tahu kan ke mana arah mata angin
melintang saat timur beranjak jadi barat, dan barat berubah di timur?”
“itu kiamat. aku memang gak tahu karena aku
bukan angin yang bebas berhembus kemanapun ia mau, ibarat kompas mungkin akulah
jarumnya, saat kompas memutar balikkan arahnya, aku yang seharusnya mengarahkan
kemana arah yang sebenarnya, tapi aku semu, aku hilang, aku diam di tempat,
mungkin jarum itu bisa patah, mungkin jarum itu tak ada gunanya dibanding keempat
arah mata angin kini. Aku tersendat dalam keheningan, aku terpukul akan diam.
Dan dari ke empat arah mata angin, mungkin aku sudah ditertawakannya. Aku
mengerti apa yang kamu maksud.”
“sekarang? Kamu tahu kan kamu harus apa?”
“mungkin bukan sekarang, entahlah sampai
barat berubah jadi timur aku akan tetap seperti ini, aku yakin.. suatu saat hal
ini akan berubah seiring jalannya waktu, tak perlu khawatir, aku kuat. Aku akan
merubah jarum itu agar runcingannya tak patah, aku yakin. Dan siluet itu . . .
pasti tak akan pernah berhenti di tempat, siluet itu seperti angin, ia akan
pergi ke mana ia mau, tapi aku akan tetap menjadi jarum yang selalu
mengarahkannya.”
Dari banyaknya kisah yang aku
tuliskan dibukuku dan dari yang kesekian lembarnya, aku berhenti untuk
menuliskan fairytale itu, aku sadar, diaryku ga akan bisa bicara, ia gak
sanggup menuai kata-kata yang bisa aku lunakkan, dia gak secerdas Einstein, dia
gak sesempurna ratu Diana, dia juga bukan ibu yang mengerti bagaimana
perasaanku, seolah aku berfikir bahwa aku harus mencoba keluar dari garis ini,
aku masih bisa bermimpi, dari sebanyak mimpi yang aku tuliskan di bukuku,
kamulah satu-satunya alasan mengapa aku tetap seperti ini, tenang… aku gak
pernah berubah.
Dear diary.
balikpapan, 6/6/2013
….……… dan untuk bersamaku, kamu tak perlu
bermimpi.
No comments:
Post a Comment